
Suatu hari seorang sahabat Nabi bertanya; `Wahai Rasulullah, jika Al-Qur’an itu bukan makhluk, maka apakah huruf hijaiyah, alif, ba’, ta’, sampai ya’ itu makhluk atau bukan?”
“Huruf hijaiyah itu bukan makhluk,” jawab Nabi SAW.
“Alif itu adalah salah satu dari nama Allah. Ba’ juga nama Allah, ta’ juga nama Allah….hingga ya’. Bahkan A…B…C…D…E..dan seterusnya itu juga nama-nama Allah.”
Hadits ini dikutip oleh seorang wali besar Syeikh Abdul Qadir al-Jilany dalam kitabnya Al-Ghunyah.
Jadi, jika Allah saja bersembunyi di balik tirai huruf-huruf yang kelak dari huruf itu membentuk suku kata dan dari kata membentuk kalimat, maka setiap kalimat yang baik dan bermanfaat – yang bisa mengubah jiwa kita, pastilah tidak lepas dari rahsia Ilahi yang tersembunyi di balik huruf-huruf-Nya. Kerananya, jika Anda berkata berdusta, berbohong, memaki, menyakiti dengan ucapan, sesungguhnya Anda telah memanipulasi susunan kata-kata yang terdiri dari Asmaul Husna untuk sebuah kekotoran, kekejian, kejahatan, dan kedustaan. Itulah awal dari sebuah dosa yang muncul dari kata dan wacana.
Seorang sufi ketika ditanya apa isi kandungan kalamullah dalam Al-Qur’an? Ia hanya akan menjawab; “Ooouh, ertinya, semuanya Allah… Allah… Allah… Dari surah Al Fatihah sampai Al Falaq, An Naas, dan seterusnya, semuanya ertinya Allah….” Kalimat seorang sufi ini meneguhkan betapa seluruh huruf dalam Al-Qur’an itu adalah Asmaul Husna. Oleh sebab itulah kita harus suci zahir dan batin ketika membaca Al-Qur’an. Sebab kita sesungguhnya sedang berdzikir menyebut nama-nama Allah Ta’ala.
Keagungan cinta Allah, semakin luhur ketika Allah “sengaja” menirai di balik sesuatu yang tak pernah terduga oleh para hamba-Nya. Termasuk bersembunyi di balik huruf-huruf itu, sampai huruf itu menjadi simbol dari nama Allah.
Jika kita sedari bahwa seluruh suara dan ucapan kita sesungguhnya juga adalah nama-nama Ilahi, kita pasti akan berdzikir kepada Allah. Qiyaaman (ketika berdiri, aktif, dan bergerak), wa qu’uudan (ketika diam, sunyi, dan tak bergerak), wa’ala junuubihim (ketika kita tidur lelap dalam kefanaan hamba), hanya karena kita sedar betapa nafas, simbol, anugerah, dan cahaya Ilahi terus menerus mengitari gerak geri hati kita, suara yang lahir dari mulut kita, bahkan keluar masuknya nafas kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar